Minggu, 16 November 2008

TEORI AGENDA SETTING

Teori Agenda-Setting

Dari beberapa asumsi mengenai efek komunikasi massa, satu yang bertahan dan berkembang dewasa ini menganggap bahwa media massa dengan memberikan perhatian pada issue tertentu dan mengabaikan yang lainnya, akan memiliki pengaruh terhadap pendapat umum. Orang akan cenderung mengetahui tentang hal-hal yang diberitakan dan menerima susunan prioritas yang diberikan media massat erhadap isu-isu yang berbeda.
Asumsi ini berhasil lolos dari keraguan yang ditujukan kepada penelitian komunikasi massa yang menganggap media massa memiliki efek yang sangat kuat, terutama karena asumsi ini berkaitan dengan proses belajar dan bukan dengan perubahan sikap atau pendapat. Studi empiris terhadap komunikasi massa telah mengkonfirmasikan bahwa efek yang cenderung terjadi adalah dalam hal informasi. Teori agenda-setting menawarkan suatu cara untuk menghubungkan temuan ini dengan kemungkinan terjadinya efek terhadap pendapat, karena pada dasarnya yang ditawarkan adalah suatu fungsi belajar dari media massa. Orang belajar mengenai isu-isu apa dan bagaimana isuisu tersebut disusun berdasarkan tingkat kepentingannya.
Teori utama agenda-setting adalah Maxwell McCombs dan Donald Shaw. Mereka menuliskan bahwa audience tidak hanya mempelajari berita-berita dan hal-hal lainnya melalui media massa, tetapi juga mempelajari seberapa besar arti penting diberikan kepada suatu isu atau topik dari cara media massa memberikan penekanan terhadap topik tersebut. Misalnya, dalam merefleksikan apa yang dikatakan para kandidat dalam suatu kempanye pemilu, media massa terlihat menentukan mana topik yang penting. Dengan kata lain, media massa menetapkan 'agenda' kampanye tersebut. Kemampuan untuk mempengaruhi perubahan kognitif individu ini merupakan aspek terpenting dari kekuatan komunikasi massa. Dalam hal kampanye, teori ini mengasumsikan bahwa jika para calon pemilih dapat diyakinkan akan pentingnya suatu isu maka mereka akan memilih kandidat atau partai yang diproyeksikan paling berkompeten dalam menangani isu tersebut.
Asumsi agenda-setting ini mempunyai kelebihan karena mudah dipahmi dan relatif mudah untuk diuji. Dasar pemikirannya adalah di antara berbagai topik yang dimuat media massa, topik yang mendapat perhatian lebih banyak dari media massa akan menjadi lebih karab bagi pembacanya dan akan dianggap penting dalam suatu periode waktu tertentu, dan akan terjadi sebaliknya bagi topik yang kurang mendapat perhatian media. Perkiraan ini dapat diuji dengan membandingkan hasil dari analisis isi media secara kuantitatif dengan perubahan pada pendapat umum yang diukur melalui survei pada dua (atau lebih) waktu yang berbeda.

TEORI KULTIVASI

Teori Kultivasi (Cultivation Theory)

Teori Kultivasi memusatkan perhatiannya pada pengaruh media komunikasi, khususnya televisi, terhadap khalayak. Televisi merupakan sarana utama masyarakat untuk belajar tentang dunia, orang-orangnya, nilai-nilainya serta adapt kebiasaannya.
Teori kultivasi berasumsi bahwa pecandu berat televisi membentuk suatu citra realitas yang tidak konsisten dengan kenyataan. Misalnya, pecandu berat televisi menganggap kemungkinan seseorang untuk menjadi korban kejahatan adalah 1 berbanding 10. Dalam kenyataannya, angkanya adalah 1 berbanding 50. Pecandu berat mengira bahwa 20% dari total penduduk dunia berdiam di Amerika Serikat. Kenyataannya hanya 6%. Pecandu berat percaya bahwa persentase karyawan dalam posisi manajerial atau professional adalah 25%, kenyataannya hanya 5%.
Williams mengomentari hal yang sama, “Orang yang merupakan pecandu berat televisi seringkali mempunyai sikap stereotip tentang peran jenis kelamin, dokter, bandit atau tokoh-tokoh lain yang biasa muncul dalam serial televisi. Dalam dunia mereka, pembantu rumah tangga mungkin digambarkan sebagai wanita yang hidup palimg menderita. Perwira polisi menjalani hari-hari yang menyenangkan. Pejabat-pejabat pemerintahan adalah orang yang munafik.
Tentu saja, tidak semua pecandu berat televisi terkultivasi secara sama. Beberapa lebih mudah dipengaruhi televisi daripada yang lain (Hirsch, 1980). Sebagai contoh, pengaruh ini bergantung bukan saja pada seberapa banyak seseorang menenton televisi melainkan juga pada tingkat pendidikan, penghasilan, dan jenis kelamin pemirsa. Misalnya, pemirsa ringan berpenghasilan rendah melihat kejahatan sebagai masalah yang serius sedangkan pemirsa ringan berpenghasilan tinggi tidak demikian. Wanita pecandu berat melihat kejahatan sebagai masalah yang lebih serius ketimbang pria pecandu berat. Artinya, ada faktor-faktor lain di luar intensitas menonton televisi yang mempengaruhi persepsi kita untuk menerima gambaran dunia yang sebenarnya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa televisi adalah media yang paling mempengaruhi persepsi seseorang terhadap kehidupan.

TEORI OTORITER

Teori Otoriter (Authcritarian Theory)

Teori otoriter yang acapkali disebut pula sistem otoriter berkaitan erat dengan system pengawasan terhadap media massa yang daya pengaruhnya dinilai amat kuat, sehingga pers dijuluki the fourth estate (kekuasaan keempat) dan radio siaran dijuluki the fifth estate (kekuasaan kelima) setelah lembaga legislative,eksekutif, dan yudikatif, masing-masing diakui sebagai kekuasaan pertama, kedua, dan ketiga.
Aplikasi teori ini dimulai pada abad 16 di Inggris, Perancis, dan Spanyol, yang pada zaman berikutnya meluas ke Rusia, Jerman, Jepang, dan Negara-negara lain di Asia dan Amerika Latin.
Menurut Fred S. Siebert, teori otoriter menyatakan bahwa hubungan antara media massa dengan masyarakat ditentukan oleh asumsi-asumsi filsafati yang mendasar tentang manusia dan Negara. Dalam hal ini tercakup : (1) sifat manusia, (2) sifat masyarakat, (3) hubungan antara manusia dengan Negara, dan (4) masalah filsafati yang mendasar, sifat pengetahuan dan sifat kebenaran.
Teori otoriter mengenai fungsi dan tujuan masyarakat menerima dalil-dalil yang menyatakan bahwa pertama-tama seseorang hanya dapat mencapai kemampuan secara penuh jika ia menjadi anggota masyarakat. Sebagai individu lingkup kegiatannya benar-benar terbatas, tetapi sebagai anggota masyarakat kemampuannya untuk mencapai suatu tujuan dapat ditingkatkan tanpa batas. Atas dasar asumsi inilah, kelompok seseorang dapat mencapai tujuannya.
Teori tersebut telah mengembangkan proposisi bahwa negara sebagai organisasi kelompok dalam tingkat paling tinggi telah menggantikan individu dalam hubungannya dengan derajat nilai, karena tanpa negara seseorang tak berdaya untuk mengembangkan dirinya sebagai manusia beradab. Kebergantungan seseorang pada negara untuk mencapai peradaban telah menjadi unsur utama bagi sistem otoriter.

TEORI PERBEDAAN INDIVIDUAL

Teori Perbedaan Individual (Individual Differences Theory)

Nama teori yang diketengahkan oleh Melvin D. Defleur ini lengkapnya adalah “Individual Differences Theory of Mass Communication Effect”. Jadi teori ini menelaah perbedaan-perbedaan diantara individu-individu sebagai sasaran media massa ketika mereka diterpa sehingga menimbulkan efek tertentu.
Anggapan dasar dari teori ini ialah bahwa manusia amat bervariasi dalam organisasi psikologisnya secara pribadi. Variasi ini sebagian dimulai dari dukungan perbedaan secara biologis. Tetapi ini dikarenakan pengetahuan secara individual yang berbeda. Manusia yang dibesarkan dalam lingkungan yang secara tajam berbeda, menghadapi titik-titik pandangan yang berbeda secara tajam pula. Dari lingkungan yang dipelajarinya itu, mereka menghendaki seperangkat sikap, nilai, dan kepercayaan yang merupakan tatanan psikologisnya masing-masing pribadi yang membedakannya dari yang lain.
Teori perbedaan individual ini mengandung rangsangan-rangsangan khusus yang menimbulkan interaksi yang berbeda dengan watak-watak perorangan anggota khalayak. Oleh karena terdapat perbedaan individual pada setiap pribadi anggota khalayak itu,maka secara alamiah dapat diduga akan muncul efek yang bervariasi sesuai dengan perbedaan individual itu. Tetapi dengan berpegang tetap pada pengaruh variabel-variabel kepribadian (yakni menganggap khalayak memiliki ciri-ciri kepribadian yang sama) teori tersebut tetap akan memprediksi keseragaman tanggapan terehadap pesan tertentu. (jika variabel antara bersifat seragam).

TEORI MODEL SOSIAL

Teori Model Sosial (Social Modeling Theory)

Dalam berbagai situasi, perilaku manusia sangat dipengaruhi hanya karena suatu kesempatan mengamati tindakan orang lain. Kita dapat meniru atau justru mengambil tindakan yang berbeda sama sekali dari apa yang kita lihat. Eksposure terhadap orang lain dapat mempengaruhi keadaan emosional (emotional state) seseorang. Itulah yang dimaksud proses modelling.
Dari berbagai pengamatan terlihat bahwa laporan berita TV mempengaruhi konsep masyarakat mengenai reality atau kenyataan hidup dan lalu perilaku mereka dilengkapi (supplemented) dengan perasaan bahwa pertunjukan dramatik juga mempunyai efek yang sama.
Tayangan TV sekarang sangat sulit dibedakan antara yang fakta dan fiksi karena mereka menampilkannya dalam format acara yang hampir sama. Tayangan yang sesungguhnya hanya bersifat fiksi telah menjadi sesuatu yang nyata oleh masyarakat banyak. Itulah kekuatan sebuah media massa yang amat mempengaruhi perilaku masyarakat banyak sebagai khalayak.

TEORI PENEGUHAN IMITASI

Teori Peneguhan Imitasi (Reinforcement Imitation Theory)

Miller dan Dollard (1941) memerinci kerangka teori tentang instrumental conditioning dan mengemukakan ada tiga kelas utama perilaku yang sering diberi label ‘imitasi’, yaitu :
1) Same behaviour, yakni dua individu memberi respons masing-masing secara independent, tapi dalam cara yang sama, terhadap stimuli lingkungan yang sama. Sebagai hasilnya sekalipun tindakan mereka itu sepenuhnya terpisah satu sama lain tetapi bisa tampak seakan-akan yang satu meniru yang lainnya. Contoh : orang yang sama-sama naik bus, duduk di tempat yang sama, membayar ongkos yang sama, dan mungkin juga turun di tempat yang sama.
2) Copying, yakni seorang individu berusaha mencocokan prilakunya sedekat mungkin dengan perilaku orang lain. Jadi ia haruslah mampu untuk memberi respons terhadap syarat atau tanda-tanda kesamaan atau perbedaan antara perilakunya sendiri dengan penampilan orang yang menjadi model. Contoh : seorang musisi yang berusaha menyamakan diri dengan pengajarnya.
3) Matched-dependent behavior. Seorang individu (pengamat atau pengikut) belajar untuk menyamai tindakan orang lain (model atau si pemimpin) karena ia mendapat imbalan dari perilaku tiruannya itu. Jadi dalam matched-dependent behavior, si pengikut mempunyai kecenderumgan kuat untuk meniru tindakan si model melalui proses instrumental conditioning.
Bandura (1969) mengidentifikasikan efek-efek yang ditimbulkan oleh eksposure terhadap perilaku dan hasil perbuatan (outcomes) orang lain, adalah :
1) Inhibitory and Disinhibitory Effects (Efek malu dan tidak memalukan)
Efek inhibitory merupakan efek yang dikerjakan orang lain yang menyebabkan perilaku tertentu menjadi malu atau menahan diri untuk melakukan atau mengulangi perbuatan yang sama. Sedangkan efek disinhibitory merupakan efek yang menyebabkan orang lain tidak malu untuk melakukan perbuatan yang dilihatnya.
2) Response facilitating effects. Bahwa kesempatan untuk melihat (eksposure) kepada tindakan orang lain dapat berfungsi memudahkan (facilitate) penampilan bermacam perilaku yang menurut biasanya tidak dilarang.
3) Observational Leraning. Bila seseorang yang melihat (observer) dikenai (exposured) perilaku dari suatu model sosial, maka dapat terjadi efek ini. Dalam arti yang lebih spesifik, observer tadi dapat memperoleh bentuk perilaku baru semata-mata dengan melihat atau mengamati tindakan model tanpa secara terbuka menunjukan respons di hadapan model yang ditirunya.
Observational learning ditentukan oleh empat proses pengamatan (observasional) yang khas tapi saling berkaitan, yaitu :
1. Attention
2. Retention
3. Motoric Reproduction
4. Faktor Insentif atau motivasional
Tingkat perhatian seorang observer dipengaruhi oleh faktor-faktor :
A. Karakteristik model yang bersangkutan, seperti :
- Daya Tarik (attractiveness)
- Kompetensi (competence)
- Status
- Kekuasaan Sosial (Social Power)
B. Karakteristik si observer sendiri, seperti
- Self Esteem
- Status sosioekonomi

TEORI PEMBELAJARAN SOSIAL

Teori Pembelajaran Sosial (Social Learning Theory)

Banyak hal dalam kehidupan yang diperoleh dari berinteraksi sosial di tengah masyarakat. Seseorang yang awam tentang komputer menjadi ahli dalam merakit komputer karena semasa kuliah ia berada satu kost dengan ahli-ahli komputer. Umumnya, orang membiarkan diri atau sengaja berbuat sesuatu bila hal itu dirasakan dapat menghasilkan suatu imbalan (reward) bagi dirinya. Pengertian imbalan disini tidak semata-mata berarti materi. Imbalan yang bukan berbentuk selain materi pun, seperti rasa puas, rasa senang, dan lain-lain, membuat orang berminat untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu dan termasuk proses belajar untuk melakukan pekerjaan tersebut. Dengan demikian orang sebenarnya menjalani apa yang disebut belajar melalui proses sosial (social learning).
Michael (1971) menjelaskan bahwa teori perilaku memberi peran yang penting bagi penegasan (reinforcement) dan imbalan (reward) dalam belajar. Pentingnya peran tersebut dapat dipahami karena dua alasan, yaitu:
• Reinforcement dan perangsang (insentif) telah ditunjukan berulang sebagai pengaruh yang kuat dalam belajar dan dalam pilihan perilaku pada banyak situasi. Contoh : Para ekonom sudah lama mengakui bahwa keuntungan merupakan faktor penentu penting bagi keputusan-keputusan bisnis dan financial
• Pada umumnya penelitian tentang belajar lebih banyak mengkaji hewan daripada mengkaji manusia. Dan hewan dianggap memiliki dorongan yang bersifat langsung atas direct reinforcement dan dipandang sebagai suatu mekanisme balajar yang utama.
Social Learning melalui observasi. Perkembangan teoritis yang lain menekankan social learning melalui pengamatan (observasi). Observational Learning menunjuk kepada proses belajar tanpa imbalan atau tekanan langsung. Orang belajar dengan mengamati orang lain dan kejadian dan tidak semata-mata dari konsekuensi langsung dari apa yang mereka perbuat sendiri. Apa yang kita ketahui dan bagaimana kita berperilaku tergantung pada apa yang kita lihat dan kita dengar, dan bukan Cuma pada apa yabg kita dapatkan. Melalui observasi, orang belajar mengenai lingkungan dan perilaku orang lain. Si pengamat dapat mempelajari respons yang sepenuhnya baru, hanya dengan mengamati perilaku baru yang diperlihatkan oleh pihak lain. Perolehan pola respons yang sepenuhnya baru itu melalui proses-proses observasional secara khusus dibuktikan dalam belajar bahasa.
Kompleksitas Social Learning. Teori-teori perilaku sosial yang paling kontemporer mengakui bahwa orang dapat membangkitkan pola-pola perilaku dalam cara-cara yang kompleks. Mereka tidak begitu saja dan secara otomatis memberikan respons seperti apa yang telah dikondisikan dalam kaitan dengan stimuli yang diberikan. Juga disepakati bahwa bagaimana seseorang individu menafsirkan dan mempersepsikan rangsangan dari dalam dirinya dan dari luar mempengaruhi bagaimana ia akhirnya bereaksi kepada rangsangan-rangsangan tersebut.
Tidak seorang pun individu yang melakukan seluruh hal yang telah dipelajarinya dan yang dapat dilakukannya. Jelas terdapat perbedaan antara apa yang telah dipelajari atau diketahui seseorang dengan apa yang sesungguhnyadilakukan pada situasi tertentu. Misalnya, kebanyakan orang dewasa tahu cara berkelahi, tapi tidak semua memiliki keterampilan yang sama dalam berkelahi. Terdapat perbedaan yang besar antara apa yang sanggup dilakukan seseorang dalam situasi tertentu dan apa yang sesungguhnya dilakukannya. Karena itu ada gunanya untuk membedakan antara learning atau perolehan perilaku dan pelaksanaanya.
Learning atau perolehan respons-respons yang baru diatur oleh proses-proses panca indera dan pengetahuan. Perolehan itu dapat dimudahkan dengan adanya insentif dan pengokohan tetapi tidak bergantung secara keseluruhan. Jadi apa yang dapat dilakukan oleh seseorang tergantung pada apa yang diketahuinya dan pada keterampilan, informasi, peraturan dan pola-pola respons yang dipelajarinya atau diperolehnya. Perilaku yang dipelajari ini mungkin diperoleh melalui proses-proses observasi dan kognitif dan bukan cuma melalui pengkondisian dan reinforcement langsung. Seseorang mungkin tidak melakukan perilaku tertentu karena ia tidak pernah mempelajari sebelumnya. Pada pihak lain, pola respons mungkin tersedia baginya, tapi tidak dikarenakan oleh kondisi-kondisi stimulus dan tekanan tertentu.
Efek mengamati hasil perilaku orang lain. Ketika seseorang mengamati bahwa orang lain (model) mendapatkan konsekuensi yang positif untuk suatu pola respons, ia cenderung untuk berbuat lebih siap dengan cara-cara yang sama. Misalnya bila seorang anak melihat anak lain menerima dorongan dan pujian untuk suatu keagresifan dalam suatu permainan, maka kecenderungannya sendiri untuk bertindak agresif pada situasi yang sama akan meningkat. Sebaliknya ketika model sosial dihukum untuk perilaku mereka, yang melihatnya cenderung menjadi lebih malu untuk mempertunjukan perilaku yang sama.